-Nasihat Hatim Al-‘Ashom

 “ MUARA NASEHAT HATIM AL – ASHOM “

Hatim Al-Ashom adalah seorang ulama besar dan pendekar di belantara Tasawwuf. Nama lengkapnya adalah Abu Hatim Bin ‘Umwan Bin Yusuf Al Ashom. Hatim berasal dari khurusan penduduk Bulkhi. Ia wafat pada tahun 237 Hijriyah. Al-Ashom (si Tuli) adalah gelar yang konon diberikan kepadanya, karena pernah berpura-pura tuli demi menjaga rasa malu seorang wanita itu, maaf mengeluarkan angin (kentut ) dengan keras di hadapannya.

Hatim berguru kepada Syaqiq Al-Bulkhi (Abu Ali Bin Ibrahim Al-azadi) penduduk kota Bulkhi. Syaqiq adalah ‘ulama tersohor di Khurusan yang juga menemani Ibrahim bin Adam dan belajar thoriqah darinya. Ia juga mengisnadkan hadist dari Anas R.A antara lain :

1. “ Siapa yang mengambil rezeki halal dari dunia, maka Allah akan menghisabnya ( menghitungya ). Dan siapa yang mengambil rezeki haram maka Allah akan menyitanya. Celaka dunia dan sesuatu cobaan-cobaan di dalamnya. Halalnya di hisab, haramnya di adzab.

2. ‘ Waspadalah agar jangan binasa karena dunia dan jangan susah, karena rezekimu tidak akan di berikan kepada selain engkau.”

3. Tiada sesuatu yang lebih daripada tamu, sebab rezeki dan biayanya ditanggung oleh Allah, aku mendapat pahalanya.”

4. “ Allah yang menjadikan manusia yang taat kepada-Nya hidup disaat kematian mereka, dan dia menjadikan para ma’siat mati disaat hidup.”

Pada suatu hari terjadilah dialog antara Hatim dengan gurunya, Syaqiq Al-Bukhli yang juga menjadi sahabatnya. :” Hatim kau telah menjadfi sahabat-ku selama tiga tahun. Lalu apa yang kau peroleh selama ini, Tanya Syaqih memulai dialog.. “ Aku telah memperoleh delapan ( 8 ) faedah ilmu, “Jawab Hatim sia-sia saja umurku bersamamu. Selama ini kau dapatkan 8 hal saja..? ujar Syaqiq, “Ya, jawab Hatim tegas. Delapan hal itu sudah cukup bagiku, sebab aku mengharapkan keselamatan, sambungnya. “ Apakah itu…? “tanya syaqiq penasaran. “ Begini, jawab Hatim sambil menjelaskan satu persatu :

Pertama :”Ku lihat dari masing-masing manusia mempunyai kekasih yang di cintainya .Sebagian kekasih ada yang menemani pada saat sakit hingga matinya. Sebagian lagi menemaninya sampai keliang lahat. Ketika semua pulang , ia pun kini sebatang kara dalam kubur. Aku pilih amal sholeh sebagai kekasihku. Karena Ia menyertaiku bila aku masuk ke dalam kubur . Menjadi penerang di bilik pekat di kegelapan kubur, menjadi penghibur di kesendirian, dan tak pernah meninggalkanku seorang diri. Bahkan menjadi penyerta setia hinggaku menghadap panggilan Ilahi kelak .”

“Benar sekali hatim, lalu apa yang kedua …?

“Aku perhatikan firman Allah :”WA AMMAAMAN KHAAPA MAQAAMA RABBUHU WANAHANNAFSA ’ANIL HAWAA.FAINNAL JANNATA HIAL MA’WAA” (Q.S : An-Naazi’aat 40-41)

Artinya : ” Dan adapun mereka yang takut di hadapan Kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”

Tuhan benar, aku memilih surga. Aku berjuang mengendalikan hawa nafsuku, hingga ia ridho untuk mentaati dan tunduk kepada –Nya .

“Engkau betul, apa yang ketiga…?  “setiap orang memiliki kekayaan. Mereka suka mengumpul kan, menghargai, menilai memelihara kekayaan itu. Kurenungkan firman Allah ( Q.S : An. Nahl : 16 : 96 ) Yang artinya:”Apa yang ada pada sisimu akan lenyap. Dan apa yang ada disisi Allah akan kekal “. Kapan saja ku peroleh kekayaan, kuserahkan kepada Allah dan Rasulnya ku bagikan kepada fakir dan miskin. Aku berharap supaya menjadi tabungan akhirat yang di pelihara (diproteksi) di sisi–Nya. ”Bagus sekali hatim…?.” Lalu apa yang ke empat…? Aku melihat semua orang mempunyai nilai yang di kejarnya, harta, pangkat, kemewahan dan keturunan mereka berbangga-bangga dengan semua itu, sebagai beranggapan kemuliaan dapat di gapai dengan merampasharta orang lain , sebagian beramsumsi dengan menghabiskan dengan memboroskan semua itu bagiku tiada bernilai. Bukankah Allah berfirman: ( Q.S ) Al-hujarat : 13 yang artinya :”Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu. ” Aku ingin, menjadi orang yang paling mulia. Karena itu aku memilih taqwa. Baik sekali ya hatim, apa yang kelima “ aku perhatikan orangsaling menusuk, mengutuk, saling dengki dan ghibah, padahal Allah berfirman :

artinya “Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia ini “(Q.S : 43: 32 ) “

Aku tingalkan dengki, iri, aku jauhi pertikaian diantara orang banyak aku sadar bahwa semua ketentuan datang dari Allah.aku rela akan ketentuan Nya itu dan tidak perlu merasa iri engkau benar, hatim lalu apa yang ke enam …?” karena sesuatu hal, manusia mempunyai musuh yang mereka perangi menurut Firman Allah , sesungguhnya setan itu musuh bagimu, jadikanlah ia musuh .( Q.S : 35 : 6 )aku jadikan setan sebagai musuhku. Aku lepaskan permusuhan ku dengan makhluk yang lain benar pula, apa yang ketujuh….?

Aku telah melihat orang berebutan rezeki. Kadang-kadang ada orang yang menghinskan dirinya, memasuki yang tidak halal. Aku berfirman Allah : “ Tidak ada yang merangkak di bumi ini, melainkan Allah jua yang memberi rezekinya” ( Q.S : 11 : 6 ). Aku adalah salah satu yang merangkak di bumi ini, Aku kerjakan kewajiban ku kepada Allah. Aku tidak hiraukan apa kewajiban Allah bagiku.

Yang kedelapan. Banyak “ Banyak orang mengandalkan ciptaanya. Sebagian dari mereka menghandalkan harta, kekuasaan, dan keahliannya. Kurenungkan firman Allah : “ WAMAN YATAWAKAL ‘ALALLAAHI PAHUWA HASBUHU INNALLAAHA BAALIGU AMRIHI QAD JA’ALALLAAHULIKULLI SYAI-IN QADRA ” ( Q.S :At-Tholaag : 3 ). “

Artinya : “ Dan barang siapa yang bertawakkal ( keperluan ) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan ( Yang di kehendaki-Nya ). Sesungguhnya Allha telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

Aku bertawakkal pada –Nya. Dialah pelindung yang mencukupiku. “Ya..Hatim, ujar Syaqiq, Semoga Allah senantiasa membimbingmu. Menerutku seluruh isi Taurat, Injil dan Zabur dan Juga Al-Qur’an dapat di simpulkan kepada delapan hal itu. Maka mereka yang mengamalkannya, ia telah mengamalkan ke-4 kitab suci ini, “ ucap Syaqiq memberi komentar.

Pernah suatu saat, Hatim bersama rombongan melakukan ibadah Haji. Karena bawa perbekalan yang sedikit, rombingan itu lalu menumpang tidur di rumah seorang saudagar yang pemurah. Keesokan harinya, tuan rumah pun bertanya kepada Hatim. “ Apakah tuan ada keperluan…? Masalahnya kami bermaksud mengunjungi Kyai kami yang sedang sakit. “ Mengunungi orang sakit banyak pahalaya. Memandang wajah seorang Kyai adalah ibadat. Saya akan ikut bersama tuan, “ Jawab Hatim kemudian. Ber sama saudagar itu, Hatim berkunjung ke rumah Muhammad Bin Muqathil, seorang tokoh ( pemuka ) agama terkenal di negeri Ar-Ray. Hatim tercenung memandangi rumah sang Kyai ( Muqathil ). Rumah itu begitu luas, megah dan sangat indah. Kamar tempat tidur Si Kyai pun begitu mewah. Di tengah keterperangahannya Hatim dipersilahkan duduk Si Kyai pun di persilahkan duduk, tetapi dia tetap berdiri. “ Barangkali anda perlu,…..? Tanya Kyai kepada Hatim. “ Betul, ada masalah yang ingin saya tanyakan. Cetus Hatim. “ Bertanyalah…! Tanya Kyai kepada Hatim. “ Dari manakah tuan Kyai ilmu ini semua….? ”, Tanya Hatim. “ Dari orang yang dapat dipercaya, dari para sahabat Nabi, dari Rasulullah, dari Jibril dan dari Allah, “ Jawab Kyai. “ Apakah dari guru-guru tuan dari sahabat Nabi, dari Allah SWT tuan mendapatkan pelajaran supaya tuan hidup mewah…? Apakah mereka mengajarkan bahwa memiliki rumah besar akan meninggikanderajat kita di hadapan Allah…? Hatim menyelidik. “. “ Tidak , bahkan mereka mengajarkan kami zuhud, mencintai akhirat, menyayangi orang miskin. Dengan itulah orang mendapat kedudukan tinggi di hadapan Allah, “ Jawab si Kyai. “ Bila begitu, siapakah guru tuan Kyai sebenarnya….?, para Nabi, sahabat, orang-orang sholeh atau fir’aun dan Namrud yang mendirikan gedung bertahtakan puala……? Kalimat nasehat itupun meluncur saja dari kecerdasan Hatim. Khabarnya sakit Ibnu Muqhatil makin parah. Penduduk Ar-Ray gempar. Mereka mendatangi Hatim, dan mengatakan : Hai Tuan, ada ‘ulama yang lebih mewah dari Ibnu Muqhatil, namanya Al-Tanafisi. Dia tinggal di Qazwin. Berlah peringatan.

Hatimpun lalu datang ke Qazwin, menemui Al-Tanafisi. Ia mendirikan cara berewudhu yang benar. “ Tuan Kyai, saya akan berwudhu di hadapan tuan Betulkah saya jika saya berbuat salah ( kesalahan ), “ ucap Hatim bermohon dengan santun. Kemudian ia pun lalumengambil air wudhu, membasuh muka dan membasuh tangan 4 X ( empat kali ). “ Hai, mengapa engkau berlebih-lebihan…? Engkau membasuh tanganmu 4 X, ‘ Tegur Al-Tanafisi. ‘ Subhanallah, cetus Hatim, setapak air tuan anggap berlebihan. Sekarang bandingkan seluruh kemewahan yang tuan miliki dengan contoh Rasulullah SAW. Apakahi ni tidak berlebihan…….? Al-Tanafisi tidak menjawab. Khabarnya, lantaran malu dia tidak keluar rumah selama empat puluh hari.

Imam Ahmad mendengar berita ini, Dia mendatangi Hatim dan meminta nasehat. Imam besar pendsiri Madzhab Hambali ini, tidak segan-segan bertanya kepadanya. “ Subhanallah, alangkah cerdasnya Hatim, “ kata Imam Ahmad dengan penuh kagum.

Kang Jalal ( Pakar Komunikasi Indonesia ) mencermati formulasi dialogh yang bernuansa nasehat dengan kalimat-kalimat retoris ini berkomentar :

“ Saya kira Syaqiq tentu sangat bangga mempunyai murid secerdas Hatim bukan saja cerdas, tetapi juga berani. Seperti air yang dipakai berwudhu, Hatim suci mensucikan (Thoohirum Muthohhirun Ghairu Makhruuhun ). Dia juga menjaga dirinya dari kemaksiatan. Dia juga mengingatkan orang lain untuk memelihara kesucian. Berbeda dengan kebanyakan orang yang ‘ Sok alim, “ dia dengan berani melakukan control sosial. Dia mempertahankan keyakinannya dengan meninggalkan arus Dengan tegas dia menantang arus. Dia pula menuntut ilmu dengan tekun. Dia tampil membetulkan para ulama yang lupa. Dia tidak membenci orang yang mencari nafkah dengan halal. Dia juga tidak senang dengan orang-orang yang hidup mewah , apa lagi bila orang itu ulama. Dia menghujat para ulama yang begitu sensitive membincangkan cara berwudhu, tetapi tidak peka terhadap persoalan kemasyarakatan. Ulama yang berang bila melihat bid’ah dalam ibadat, tetapi sangat tenang ketika melihat disparitas sosial-ekonomi di sekitarnya. Kepada ulama seperti ini Hatim datang.

Pada kesempatan yang lain, Hatim juga memberi nasehat : “Orang mu’min itu mengandalkan fikiran dan mau mengambil pelajaran dari suatu kejadian sedang orang munafik, tertipu oleh tamak dan angan-angan. Orang-orang mu’min itu hanya menggantungkan harapan kepada Allah. Orang-orang mu’min merasa aman dari perbuatan setiap orang, sedangkan orang munafik meletakkan agamanya di bawah hartanya. Orang mu’min berbuat baik dan menangis , sedangkan orang munafik berbuat jahat dan ketawa. Orang mu’min berkhawalat dan menyendiri. Sedangkan si munafik suka bergaul dan berkumpul. Orang mu’min menanam dan takut berbuat kerusakan, sedangkan orang munafik mencabut dan ingin menuai. Orang mu’min menyuruh dan melarang sesuatu karena siasat lantas ia berbuat maslahat. Sedangkan si munafik menyuruh dan melarang karena kedudukan lantas ia berbuat jahat. ( Keajaiban hati Hal : 189 )

“ Aku minta lima perkara dari makhluk dan aku tidak mendapatkannya, :

1. Aku minta supaya mereka taat dan zuhud, tapi mereka tidak mau mengerjakannya.

2. Aku minta supaya mereka menolongku dalam taat dan zuhud, mereka tidak mau juga

3. Aku minta agar mereka ridho jika aku taat dan zuhud, dan mereka membenciku.

4. Aku minta supaya mereka jangan menungguku, tetapi mereka menghalangiku dalam taat dan zuhud

5. Aku minta supaya mereka jangan mengajakku kepada jalan yang tidak diridhoi Allah SWT dan jangan memusuhiku jika tidak mengikuti mereka, tetapi mereka tidak mau demikian.

Oleh karna itu aku tinggalkan mereka dan aku mengkhususkan mengurus diriku sendiri.” ( ibid, hal : 73;74 )

“ Orang yang dengki itu bukan ahli agama dan orang yang suka mencela tidak termasuk golongan yang beribadah. Orang yang suka mengadu termasuk orang yang tidak boleh di percaya dan orang hasud termasuk golongan orang yang tidak usah di tolong. ( ibid, 131 )

“ Jauhkan dirimu dari maut dalam tiga keadaan :

a. Dalam keadaantakabur

b. Dalam keadaan loba

c. Dalamkeadaan ujub/sakit

Orang takabur tidak akan di keluarkan oleh Allah dari dunia sebelum di perlihatkan kepadanya penghinaan dari keluarganya yang terendah dan dari pelayan-pelayannya. Orang yang loba tidak akan di keluarkan oleh Allah dari dunia ini sebelum ia dibuat butuh dahulu kepada sekerat roti atau seteguk air dan tidak akan mendapatkan apa-apa dari keduanya.

Orang yang bangga akan dirinya tidak dikeluarka oleh Allah SWT dari dunia ini sebelum dirinya bergelimangan air kencing dan tahinya. Dan dikatan orang, siapa-siapa yang takabur tanpa hak ( Ibid Hal; 76 )

Abu Muthi’ Al-Bakhi bertanya kepada hatim Al-Ashom; “ saya mandapatkan khabar bahwa kamu telah mengarungi padang sahara yang sukar itu tanpa membawa bekal apa-apa. “ Ah, siapa bilang, sebenarnya saya membawa bekal sampai empat macam jawab Hatim :

a. Keyakinan saya bahwa dunia dan isinya, demikian pula akhirat, semuanya Allah saja yang menguasai.

b. Keyakinan saya bahwa makhluk itu seluruhnya hamba-hamba Allah

c. Keyakinan saya bahwa urusan rezeki dan semua sebab-sebabnya ada di bawah kekuasaan Allah

d. Keyakinan saya Bahwa apa-apa yang di kehendaki-Nya akan terjadi di seluruh alam, karena Allah yang menjadi pemiliknya.

Tinggalkan komentar